Subscribe Us

LightBlog

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Kamis, 16 Mei 2013

Energi Panas Bumi: Benarkah Butuh Lahan Seluas Itu?

Ketika melakukan penyuluhan (sosialisasi) kepada warga masyarakat beberapa desa di kawasan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, pada bulan Desember 2012 lalu, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat, yang disertai oleh beberapa pejabat dari Kabupaten Kuningan, menyatakan bahwa rencana pemanfaatan sumber energi panas-bumi (geothermal) di kawasan tersebut akan membutuhkan lahan sampai sekitar 2.100 ha. Alasannya, potensi panas bumi yang ditemukan di kawasan itu adalah 300-400 Megawatt (MW), sementara setiap MW membutuhkan luas lahan 3,2 ha. Rinciannya: ada 3 lokasi potensial. Pertama, di sekitar Desa Pajambon dengan kandungan energi 135-235 MW, Kedua, di sekitar Desa Ciniru dengan kandungan energi 75 MW. Ketiga, di sekiytar Desa Subang dengan kandungan 90 MW, sehingga dibutuhkan minimal 960-1.280 ha. Jika ditambahkan dengan suatu kawasan penyanggah (buffer zone) --sebagai penyekat dan pemisah dengan kawasan persawahan, perladangan dan pemukiman penduduk sekitar-- maka seluruhnya akan mencapai 2.100 ha atau 21 km2.

Penjelasan itu membuat warga setempat bingung dan resah. Bingung karena memang tidak memiliki pengetahuan apapun tentang segala hal teknis yang menyangkut energi panas-bumi. Resah karena itu berarti kemungkinan besar akan menggusur lahan-lahan persawahan dan kebun mereka, bahkan juga mungkin sampai menggusur lahan pemukiman mereka saat ini. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa rencana pemerintah tentang semua kemungkinan terjadinya penggusuran itu. Para warga sendiri merasa diperlakukan tidak adil jika sampai sawah-ladang, apalagi jika juga rumah-rumah mereka nanti digusur dan mereka dipindahkan ke tempat lain. Selain fakta tidak adanya lagi lahan bebas terbuka di kawasan tersebut sebagai alternatif pemukiman yang memadai, juga karena mereka tak ingin mengalami lagi  trauma beberapa tahun sebelumnya, pada tahun 2004, ketika sebagian dari lahan sawah dan kebun mereka dimasukkan dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Sementara itu, kepastian batas-batas zonasi TNGC sendiri tidak pernah dijelaskan secara terbuka dan tuntas kepada warga, sehingga masih tetap menimbulkan ketegangan diam-diam antara warga dengan pengelola taman (Balai TNGC).

Semua informasi itu dijelaskan oleh Okky Satrio dari Keluarga Besar Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, yang berkunjung ke INSIST, pada tanggal 6 Januari 2013, bersama satu tim kecil dari Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Dalam pertemuan tersebut, juga hadir satu tim kecil dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP), salah satu organisasi anggota INSIST yang berbasis di Kota Solo, Jawa Tengah. Effendi 'Bagong' Syarief, teknisi senior LPTP dan praktisi energi alternatif dengan pengalaman bekerja di lembaga kerjasama teknik internasional Jerman (GTZ) selama beberapa tahun di kawasan negara-negara ber-bahasa Perancis (francophone countries) di Afrika, membantah argumen yang diajukan oleh pejabat pemerintah Jawa Barat tersebut. Menurutnya, penentuan luas lahan berdasarkan perkalian satuan daya energi yang dihasilkan dari sumber panas-bumi adalah aneh. Secara teknis, pemanfaatan sumber panas-bumi pada dasarnya sangat sederhana, yakni dengan 'menyuntikkan' air dingin ke dalam perut bumi (melalui pipa) sampai ke kedalaman lebih dari 3000-4000 meter dimana magma panas berkubang. Air dingin tersebut kemudian akan mendidih, lalu disalurkan kembali ke atas (juga melalui pipa) untuk dikonversi menjadi uap yang akan menggerakkan turbin pembangkit tenaga listrik. Ketika air itu dingin lagi, disalurkan kembali masuk ke perut bumi untuk 'dididihkan' lagi. Demikian seterusnya, ibarat suatu daur-ulang terus-menerus. Untuk itu, lahan seluruh kompleks instalasinya tidak terlalu luas, yakni sekitar 250.000 - 1.000.000 m2 atau 0,25 - 1,0 km2, atau 25 - 100 ha saja! (lihat gambar). Jika dibutuhkan tambahan luas untuk keperluan lain (kawasan penyanggah, kantor, parkir, dll), paling banter dibutuhkan dua kali lipatnya saja, jadi total sekitar 1 - 2,0 km2 atau 100 - 200 ha.

Hal penting lainnya yang perlu diketahui, menurut Bagong, adalah pemboran saluran pipa kapiler ke dalam perut bumi itu sebenarnya bisa dilakukan dimana saja, terutama di Indonesia, apalagi di Pulau Jawa, yang memang menyimpan sediaan panas bumi luar biasa besar sebagai bagian dari lingkaran cincin-api (ring of fires) dimana puluhan atau bahkan ratusan gunung berapi masih aktif. Jika lokasi di kawasan Cigugur itu dipilih, lebih semata-mata karena pertimbangan teknis-ekonomis, agar tidak terlalu dalam melakukan pengeboran dan dengan demikian lebih murah (efisien) dalam pembiayaannya. "Kalau mau jujur." lanjutnya, "kalau memang benar rencana pembangunan instalasi energi panas bumi di Kuningan itu adalah untuk memanfaatkan kubangan magma volkanik Gunung Ciremai dan patahan bumi yang melintasinya, maka justru mungkin lebih tepat memasang instalasinya di kawah Ciremai yang terbentuk oleh letusan terakhirnya pada tahun 1926 yang lalu. Kira-kira seperti yang dilakukan di kawah Kamojang, Garut. Itu jelas jauh lebih efisien."

Karena itu, Bagong merasa curiga ada agenda lain di balik rencana penggunaan lahan yang sedemikian luas di kawasan Cigugur itu. "Kemungkinan besarnya", katanya lagi, "ada cadangan mineral lain yang juga lebih berharga, misalnya titanium atau bahkan mungkin uranium. Tetapi hal inilah yang disembunyikan dan tidak dijelaskan terbuka oleh pemerintah."

Dugaannya itu dikuatkan oleh penjelasan Okky yang mendengar dari laporan warga setempat bahwa permah ada seorang purnawirawan AURI, seorang mantan pilot pesawat tempur F-16, berkunjung ke sana dan mengatakan kepada penduduk bahwa daerah itu adalah salah satu lintasan terbang terlarang bagi para pilot, karena sering terjadi gelombang badai petir beruntun yang berbahaya bagi pesawat yang sedang terbang di atasnya. Menurutnya, daerah seperti itu biasanya mengandung cadangan titanium atau uranium di dalam perut buminya. Selain itu, warga juga melaporkan semakin seringnya orang-orang tak dikenal datang membawa berbagai peralatan yang aneh di mata mereka, melakukan pengukuran-pengukuran yang mereka tidak ketahui alasan dan tujuannya. Bahkan ada yang datang menawar akan membeli tanah luas ratusan hektar untuk membangun kawasan wisata atau malah satu  'Pusat Riset dan Pengobatan Alternatif' yang tidak ada hubungannya dengan rencana pemanfaatan panas-bumi. Mereka yang datang itu juga mengaku dari berbagai lembaga yang asing bagi warga, termasuk mengaku-aku sebagai 'orang Chevron', malah ada yang juga mengaku sebagai 'orang Bakrie Group'.

Semua itulah yang membuat warga setempat semakin bingung. Dan, ini semua tiada lain menandakan bahwa pemerintah memang belum banyak berubah sikap dan prilaku, masih selalu menjadikan rakyatnya hanya sebagai 'penonton', masih kuat menganut anggapan bahwa rakyatnya adalah 'orang-orang kampung bodoh yang bisa dibodoh-bodohi'. Jangankan menjelaskan secara jujur dan terbuka apa sebenarnya rencana pembangunan yang seharusnya justru diberitahukan kepada rakyat, karena menyangkut nasib dan kelanjutan hidup mereka, sekedar meminta pendapat mereka saja pun tidak dilakukan jauh sebelum rencana itu dibuat. Padahal menurut konvensi hukum internasional, apalagi jika menyangkut suatu rencana proyek besar yang melibatkan langsung kepentingan rakyat awam --dalam hal ini adalah soal hak kepemilikan lahan, hak akan keselamatan, dan hak untuk menikmati hasil perkembangang ilmu dan teknologi untuk kesejahteraan (Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi melalui UU No.11/2005)-- setiap pemerintah wajib melaksanakan tata-cara baku FPIC (Free and Prior Informed Consent). Secara sederhana, FPIC adalah "wajib konsultasi dan meminta persetujuan masyarakat setempat terlebih dahulu secara bebas, tanpa paksaan dan rekayasa, serta terbuka' ketika akan membangun sesuatu di daerah kediaman mereka dan sekitarnya. (Lebih rinci, lihat: Pengertian & Unsur Dasar FPIC).

Dalam hal inilah penting menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar: Untuk apa sebenarnya proyek panas-bumi itu diadakan? Mengapa perlu diadakan? Apa memang sangat mendesak dan dibutuhkan? Apa memang akan memberi maslahat, bukan sebaliknya justru mudharat dan bencana bagi rakyat, khususnya warga setempat? Dan, yang terpenting, di atas segalanya, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan, dan sebaliknya paling dirugikan, dari rencana mega-proyek itu? Tambahan lagi, seperti yang dinyatakan  oleh salah seorang tetua di Desa Cisantana, masih dalam kawasan sekitar lokasi proyek yang direncanakan, "Mengapa pengolahan energi dari bumi sendiri ini masih harus diserahkan kepada perusahaan asing seperti Chevron? Mengapa tidak dikerjakan saja oleh perusahaan negara sendiri, PERTAMINA?" Orang tua sederhana itu bertanya lugu apa adanya, tetapi justru menusuk langsung ke persoalan mendasar tentang 'kedaulatan atas sumberdaya'. Sangat bisa jadi dia akan bertanya lebih banyak lagi dan bertambah kritis jika diberitahu akan fakta-fakta sejarah satu perusahaan multinasional seperti Chevron yang selama ini menyimpan rekam-jejak 'hitam' di banyak tempat lain di dunia. (Selanjunya, lihat: Jejak Maut & Kotor Sang Raksasa Minyak).

Energi panas-bumi memang sudah terbukti adalah salah satu jenis energi alternatif yang dapat diperbaharui (renewable) dan paling bersih (dampak pencemaran sangat rendah atau nyaris nol). Tetapi sifatnya yang sangat baik itu menjadi tidak ada artinya lagi sama sekali jika justru pertanyaan-pertanyaan mendasar tadi tidak dijawab secara jujur dan terbuka kepada rakyat. Jumlah mereka di kawasan yang direncanakan bukan sedikit sama sekali. Pada tiga desa tapak utama saja, menurut statistik resmi 2009, jumlah mereka seluruhnya adalah 8.439 orang (Pajambon 2.509 orang; Ciniru 1.355 orang; dan Subang 4.474 orang).**(BETA PETTAWARANIE).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot

Halaman